Candi
Kalasan berlokasi di daerah Kali Bening, Desa Tirtomantani, kecamatan Kalasan,
kabupaten Sleman, DIY, 50 M disebelah selatan jalan Jogja-Solo. Candi Kalasan
adalah candi Budha tertua di Jogjakarta dan Jawa Tengah yang didirikan pada
tahun 777 saka atau 778 M oleh Rakai Panangkaran dari dinasti Sanjaya. Candi
Kalasan didirikan untuk penyembahan Dewi Tara bagi umat Budha. Candi tidak
digunakan oleh keluarga Sanjaya karena mereka menganut agama Hindu. Rakai
Panangkaran mendirikan candi ini karena bujukan oleh gurunya yang beragama
Budha. Candi ini menunjukan kerukunan antar umat Hindu dan Budha pada masa itu.
Salah
Satu Pintu Pada Candi Kalasan
Termakan
usia, bangunan candi Kalasan sudah tidak utuh lagi. Beberapa bagian telah rusak
dan Bagian paling atas candi yang seharusnya berupa lonceng besar berbentuk
stupa juga tidak ada. Pemugaran yang dilakukan pada tahun 1927-1929 tidak dapat
membuat candi kembali utuh karena banyak batu candi yang telah hilang. Walaupun
demikian, bila dilihat secara keseluruhan bangunan candi masih bagus.
Keunikan
Candi Kalasan terdapat pada hiasan yang indah dan pahatan batunya halus. Selain
itu ornamen dan relief pada dinding luarnya dilapisi sejenis semen kuno yang
disebut Valjralepa. Menggunaan Valjralepa bertujuan untuk melindungi candi dari
lumut dan jamur. Valjralepa juga memperhalus pahatan relief dan memberi efek
warna keemasan pada Candi. Lapisan valjralepa jarang ditemukan pada candi-candi
kawasan Prambanan. Selain candi Kalasan candi yang menggunakan Valjralepa yaitu
candi Sari. Candi Sari merupakan satu rangkaian dengan pembangunan candi
Kalasan. Candi Kalasan sebagai tempat peribadatan sedangkan candi Sari
berfungsi sebagai asrama bagi biksu Budha.
Umumnya sebuah candi dibangun oleh raja atau
penguasa kerajaan pada masanya untuk berbagai kepentingan, misalnya untuk
tempat ibadah, tempat tinggal bagi biarawan, pusat kerajaan atau tempat
dilangsungkannya kegiatan belajar-mengajar agama. Keterangan mengenai Candi
Kalasan dimuat dalam Prasasti Kalasan yang ditulis pada tahun Saka 700 (778 M).
Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan huruf pranagari.
Dalam Prasasti Kalasan diterangkan bahwa para penasehat keagamaan Wangsa
Syailendra telah menyarankan agar Maharaja Tejapurnama Panangkarana mendirikan
bangunan suci untuk memuja Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta
Buddha. Menurut prasasti Raja Balitung (907 M), yang dimaksud dengan
Tejapurnama Panangkarana adalah Rakai Panangkaran, putra Raja Sanjaya
dari Kerajaan Mataram Hindu.
Rakai Panangkaran kemudian menjadi raja Kerajaan
Mataram Hindu yang kedua. Selama kurun waktu 750-850 M kawasan utara Jawa
Tengah dikuasai oleh raja-raja dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan memuja
Syiwa. Hal itu terlihat dari karakter candi-candi yang dibangun di daerah
tersebut. Selama kurun waktu yang sama Wangsa Syailendra yang beragama Buddha
aliran Mahayana yang sudah condong ke aliran Tantryana berkuasa di bagian
selatan Jawa Tengah. Pembagian kekuasaan tersebut berpengaruh kepada karakter
candi-candi yang dibangun di wilayah masing-masing pada masa itu. Kedua Wangsa
tersebut akhirnya dipersatukan melalui pernikahan Rakai Pikatan Pikatan (838 -
851 M) dengan Pramodawardhani, Putra Maharaja Samarattungga dari Wangsa
Syailendra.
Untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara, Rakai
Panangkaran menganugerahkan Desa Kalasan dan untuk membangun biara yang
diminta para pendeta Buddha. Diperkirakan bahwa candi yang dibangun untuk
memuja Dewi Tara adalah Candi Kalasan, karena di dalam candi ini semula
terdapat patung Dewi Tara, walaupun patung itu sudah tidak berada di tempatnya.
Sementara itu, yang dimaksud dengan biara tempat para pendeta Buddha, menurut
dugaan, adalah Candi Sari yang memang letaknya tidak jauh dari Candi Kalasan.
Berdasarkan tahun penulisan Prasasti Kalasan itulah diperkirakan bahwa tahun
778 Masehi merupakan tahun didirikannya Candi Kalasan.
Menurut pendapat beberapa ahli purbakala, Candi
kalasan ini telah mengalami tiga kali pemugaran. Sebagai bukti, terlihat adanya
4 sudut kaki candi dengan bagian yang menonjol. Selain itu yang terdapat
torehan yang dibuat untuk keperluan pemugaran pada tahun 1927 sampai dengan
1929 oleh Van Romondt, seorang arkeolog Belanda. Sampai saat ini Candi Kalasan
masih digunakan sebagai tempat pemujaan bagi penganut ajaran Buddha,
terutama aliran Buddha Tantrayana dan pemuja Dewi Tara.
Bangunan candi diperkirakan berada pada ketinggian
sekitar duapuluh meter diatas permukaan tanah, sehingga tinggi keseluruhan
bangunan candi mencapai 34 m. Candi Kalasan berdiri diatas alas berbentuk
bujur sangkar dengan ukuran 45x45 m yang membentuk selasar di sekeliling candi.
Di setiap sisi terdapat tangga naik ke emperan candi yang dihiasi sepasang
kepala naga pada kakinya. Di hadapan anak tangga terbawah terdapat hamparan
lantai dari susunan batu. Di depannya kaki tangga dipasang lempengan batu yang tipis
dan halus dengan bentuk berlekuk-lekuk.
Bangunan candi secara keseluruhan berbentuk empat
persegi panjang berukuran 34x 45 m, terdiri atas ruang utama yang berbentuk
bujur sangkar dan bilik-bilik yang menjorok keluar di tengah keempat sisinya.
Dinding di sekeliling kaki candi dihiasi dengan pahatan bermotif kumuda, yaitu
daun kalpataru yang keluar dari sebuah jambangan bulat.
Candi Kalasan memiliki 4 buah pintu yang terletak
di keempat sisi, namun hanya pintu di sisi timur dan barat yang mempunyai
tangga untuk mencapai pintu dan hanya pintu di sisi timur yang merupakan pintu
masuk ke ruang utama di tengah candi. Dilihat dari letak pintu utamanya
tersebut dapat dikatakan bahwa Candi Kalasan menghadap ke timur. Di sepanjang
dinding candi terdapat cekungan-cekungan yang berisis berbagai arca, walaupun
tidak semua arca masih berada di tempatnya. Diatas semua pintu dan cekungan
selalu dihiasi dengan pahatan bermotif Kala. Tepat di atas ambang pintu, di
bawah pahatan Kalamakara, terdapat hiasan kecil berupa wanita bersila memegang
benda di kedua belah tangannya. Relung-relung di sisi kiri dan kanan atas pintu
candi dihiasi dengan sosok dewa dalam posisi berdiri memegang bunga
teratai.
Bagian atas tubuh candi berbentuk kubus
yang melambangkan puncak Meru, dikelilingi oleh 52 stupa setinggi, rata-rata,
4,60 m.Sepanjang batas antara atap dan tubuh candi dihiasi dengan deretan
makhluk kerdil yang disebut Gana.
Atap candi ini berbentuk segi delapan dan bertingkat dua. Tingkat
pertama dihiasi dengan relung-relung berisi arca Budha Manusi Budha, sedangkan
tingkat ke dua dihiasi dengan relung-relung berisi arca Dhayani Budha. Puncak
candi sesungguhnya berbentuk stupa, tetapi sampai saat ini belum berhasil
direkonstruksi kembali karena banyak batu asli yang tidak di temukan. Bila
dilihat dari dalam, puncak atap terlihat seperti rongga dari susunan lingkaran
dari batu yang semakin ke atas semakin menyempit.
Ruang utama candi berbentuk bujur sangkar dan mempunyai pintu masuk di
sisi timur. Di dalam ruangan tersebut terdapat susunan batu bertingkat yang
dahulu merupakan tempat meletakkan patung Dewi Tara. Diperkirakan bahwa patung
tersebut terbuat dari perunggu setinggi sekitar enam meter. Menempel pada
dinding barat, di belakang susunan batu tersebut terdapat semacam altar
pemujaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar