Candi Pawon terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur,Kabupaten
Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Candi yang mempunyai nama lain Candi
Brajanalan ini lokasinya sekitar 2 km ke arah timur laut dari Candi
Barabudhur dan 1 km ke arah tenggara dari Candi Mendut. Letak Candi Mendut,
Candi Pawon dan Candi Barabudhur yang berada pada satu garis lurus mendasari
dugaan bahwa ketiga candi Buddha tersebut mempunyai kaitan yang erat. Selain
letaknya, kemiripan motif pahatan di ketiga candi tersebut juga mendasari
adanya keterkaitan di antara ketiganya. Poerbatjaraka, bahkan berpendapat
bahwa candi Pawon merupakan upa angga (bagian dari) Candi Borobudhur.
Menurut Casparis, Candi Pawon merupakan tempat penimpanan abu jenazah
Raja Indra ( 782 - 812 M ), ayah Raja Samarrattungga dari Dinasti Syailendra.
Nama "Pawon" sendiri, menurut sebagian orang, berasal dari kata
pawuan yang berarti tempat menyimpan awu (abu). Dalam ruangan di tubuh
Candi Pawon, diperkirakan semula terdapat Arca Bodhhisatwa, sebagai bentuk
penghormatan kepada Raja Indra yang dianggap telah mencapai tataran
Bodhisattva, maka dalam candi ditempatkan arca Bodhisatwva. Dalam Prasasti
Karang Tengah disebutkan bahwa arca tersebut mengeluarkan wajra (sinar).
Pernyataan tersebut menimbulkan dugaan bahwa arca Bodhisattwa tersebut dibuat
dari perunggu.
Batur candi setinggi sekitar 1,5 m berdenah dasar persegi empat, namun
tepinya dibuat berliku-liku membentuk 20 sudut. Dinding batur dihiasi pahatan
dengan berbagai motif, seperti bunga dan sulur-suluran. Berbeda dengan
candi Buddha pada umumnya, bentuk tubuh Candi Pawon ramping seperti candi
Hindu.
Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi terletak di sisi barat. Di
atas ambang pintu terdapat hiasan Kalamakara tanpa rahang bawah.Tangga menuju
selasar dilengkapi dengan pipi tangga dengan pahatan pada dinding luarnya.
Hiasan kepala naga di pangkal pipi tangga sudah rusak. Ruangan dalam tubuh
candi saat ini berada dalam keadaan kosong, namun pada lantai terlihat bekas
yang menunjukkan bahwa tadinya terdapat arca di tempat tersebut.
Pada dinding bagian depan candi, di sebelah utara dan selatan
pintu masuk, terdapat relung yang berisi pahatan yang menggambarkan Kuwera
(Dewa Kekayaan) dalam posisi berdiri. Pahatan yang terdapat di selatan pintu
sudah rusak sehingga tidak terlihat lagi wujud aslinya. Pahatan yang di utara
pintu relatif masih utuh, hanya bagian kepala saja yang sudah hancur.
Pada dinding utara dan selatan candi terdapat relief yang sama, yaitu
yang menggambarkan Kinara dan Kinari, sepasang burung berkepala manusia,
berdiri mengapit pohon kalpataru yang tumbuh dalam sebuah jambangan. Di
sekeliling pohon terletak beberapa pundi-pundi uang. Di langit tampak
sepasang manusia yang sedang terbang. Di bagian atas dinding terdapat
sepasang jendela kecil yang berfungsi sebagai ventilasi. Di antara kedua
lubang ventilasi tersebut terdapat pahatan kumuda.
Atap candi berbentuk persegi bersusun dengan hiasan beberapa dagoba
(kubah) kecil di masing-masing sisinya. Puncak atap dihiasi dengan sebuah
dagoba yang lebih besar.
|
Sabtu, 15 September 2012
Candi Pawon
Kamis, 13 September 2012
Candi Kalasan
Candi
Kalasan berlokasi di daerah Kali Bening, Desa Tirtomantani, kecamatan Kalasan,
kabupaten Sleman, DIY, 50 M disebelah selatan jalan Jogja-Solo. Candi Kalasan
adalah candi Budha tertua di Jogjakarta dan Jawa Tengah yang didirikan pada
tahun 777 saka atau 778 M oleh Rakai Panangkaran dari dinasti Sanjaya. Candi
Kalasan didirikan untuk penyembahan Dewi Tara bagi umat Budha. Candi tidak
digunakan oleh keluarga Sanjaya karena mereka menganut agama Hindu. Rakai
Panangkaran mendirikan candi ini karena bujukan oleh gurunya yang beragama
Budha. Candi ini menunjukan kerukunan antar umat Hindu dan Budha pada masa itu.
Salah
Satu Pintu Pada Candi Kalasan
Termakan
usia, bangunan candi Kalasan sudah tidak utuh lagi. Beberapa bagian telah rusak
dan Bagian paling atas candi yang seharusnya berupa lonceng besar berbentuk
stupa juga tidak ada. Pemugaran yang dilakukan pada tahun 1927-1929 tidak dapat
membuat candi kembali utuh karena banyak batu candi yang telah hilang. Walaupun
demikian, bila dilihat secara keseluruhan bangunan candi masih bagus.
Keunikan
Candi Kalasan terdapat pada hiasan yang indah dan pahatan batunya halus. Selain
itu ornamen dan relief pada dinding luarnya dilapisi sejenis semen kuno yang
disebut Valjralepa. Menggunaan Valjralepa bertujuan untuk melindungi candi dari
lumut dan jamur. Valjralepa juga memperhalus pahatan relief dan memberi efek
warna keemasan pada Candi. Lapisan valjralepa jarang ditemukan pada candi-candi
kawasan Prambanan. Selain candi Kalasan candi yang menggunakan Valjralepa yaitu
candi Sari. Candi Sari merupakan satu rangkaian dengan pembangunan candi
Kalasan. Candi Kalasan sebagai tempat peribadatan sedangkan candi Sari
berfungsi sebagai asrama bagi biksu Budha.
Umumnya sebuah candi dibangun oleh raja atau
penguasa kerajaan pada masanya untuk berbagai kepentingan, misalnya untuk
tempat ibadah, tempat tinggal bagi biarawan, pusat kerajaan atau tempat
dilangsungkannya kegiatan belajar-mengajar agama. Keterangan mengenai Candi
Kalasan dimuat dalam Prasasti Kalasan yang ditulis pada tahun Saka 700 (778 M).
Prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan huruf pranagari.
Dalam Prasasti Kalasan diterangkan bahwa para penasehat keagamaan Wangsa
Syailendra telah menyarankan agar Maharaja Tejapurnama Panangkarana mendirikan
bangunan suci untuk memuja Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta
Buddha. Menurut prasasti Raja Balitung (907 M), yang dimaksud dengan
Tejapurnama Panangkarana adalah Rakai Panangkaran, putra Raja Sanjaya
dari Kerajaan Mataram Hindu.
Rakai Panangkaran kemudian menjadi raja Kerajaan
Mataram Hindu yang kedua. Selama kurun waktu 750-850 M kawasan utara Jawa
Tengah dikuasai oleh raja-raja dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan memuja
Syiwa. Hal itu terlihat dari karakter candi-candi yang dibangun di daerah
tersebut. Selama kurun waktu yang sama Wangsa Syailendra yang beragama Buddha
aliran Mahayana yang sudah condong ke aliran Tantryana berkuasa di bagian
selatan Jawa Tengah. Pembagian kekuasaan tersebut berpengaruh kepada karakter
candi-candi yang dibangun di wilayah masing-masing pada masa itu. Kedua Wangsa
tersebut akhirnya dipersatukan melalui pernikahan Rakai Pikatan Pikatan (838 -
851 M) dengan Pramodawardhani, Putra Maharaja Samarattungga dari Wangsa
Syailendra.
Untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara, Rakai
Panangkaran menganugerahkan Desa Kalasan dan untuk membangun biara yang
diminta para pendeta Buddha. Diperkirakan bahwa candi yang dibangun untuk
memuja Dewi Tara adalah Candi Kalasan, karena di dalam candi ini semula
terdapat patung Dewi Tara, walaupun patung itu sudah tidak berada di tempatnya.
Sementara itu, yang dimaksud dengan biara tempat para pendeta Buddha, menurut
dugaan, adalah Candi Sari yang memang letaknya tidak jauh dari Candi Kalasan.
Berdasarkan tahun penulisan Prasasti Kalasan itulah diperkirakan bahwa tahun
778 Masehi merupakan tahun didirikannya Candi Kalasan.
Menurut pendapat beberapa ahli purbakala, Candi
kalasan ini telah mengalami tiga kali pemugaran. Sebagai bukti, terlihat adanya
4 sudut kaki candi dengan bagian yang menonjol. Selain itu yang terdapat
torehan yang dibuat untuk keperluan pemugaran pada tahun 1927 sampai dengan
1929 oleh Van Romondt, seorang arkeolog Belanda. Sampai saat ini Candi Kalasan
masih digunakan sebagai tempat pemujaan bagi penganut ajaran Buddha,
terutama aliran Buddha Tantrayana dan pemuja Dewi Tara.
Bangunan candi diperkirakan berada pada ketinggian
sekitar duapuluh meter diatas permukaan tanah, sehingga tinggi keseluruhan
bangunan candi mencapai 34 m. Candi Kalasan berdiri diatas alas berbentuk
bujur sangkar dengan ukuran 45x45 m yang membentuk selasar di sekeliling candi.
Di setiap sisi terdapat tangga naik ke emperan candi yang dihiasi sepasang
kepala naga pada kakinya. Di hadapan anak tangga terbawah terdapat hamparan
lantai dari susunan batu. Di depannya kaki tangga dipasang lempengan batu yang tipis
dan halus dengan bentuk berlekuk-lekuk.
Bangunan candi secara keseluruhan berbentuk empat
persegi panjang berukuran 34x 45 m, terdiri atas ruang utama yang berbentuk
bujur sangkar dan bilik-bilik yang menjorok keluar di tengah keempat sisinya.
Dinding di sekeliling kaki candi dihiasi dengan pahatan bermotif kumuda, yaitu
daun kalpataru yang keluar dari sebuah jambangan bulat.
Candi Kalasan memiliki 4 buah pintu yang terletak
di keempat sisi, namun hanya pintu di sisi timur dan barat yang mempunyai
tangga untuk mencapai pintu dan hanya pintu di sisi timur yang merupakan pintu
masuk ke ruang utama di tengah candi. Dilihat dari letak pintu utamanya
tersebut dapat dikatakan bahwa Candi Kalasan menghadap ke timur. Di sepanjang
dinding candi terdapat cekungan-cekungan yang berisis berbagai arca, walaupun
tidak semua arca masih berada di tempatnya. Diatas semua pintu dan cekungan
selalu dihiasi dengan pahatan bermotif Kala. Tepat di atas ambang pintu, di
bawah pahatan Kalamakara, terdapat hiasan kecil berupa wanita bersila memegang
benda di kedua belah tangannya. Relung-relung di sisi kiri dan kanan atas pintu
candi dihiasi dengan sosok dewa dalam posisi berdiri memegang bunga
teratai.
Bagian atas tubuh candi berbentuk kubus
yang melambangkan puncak Meru, dikelilingi oleh 52 stupa setinggi, rata-rata,
4,60 m.Sepanjang batas antara atap dan tubuh candi dihiasi dengan deretan
makhluk kerdil yang disebut Gana.
Atap candi ini berbentuk segi delapan dan bertingkat dua. Tingkat
pertama dihiasi dengan relung-relung berisi arca Budha Manusi Budha, sedangkan
tingkat ke dua dihiasi dengan relung-relung berisi arca Dhayani Budha. Puncak
candi sesungguhnya berbentuk stupa, tetapi sampai saat ini belum berhasil
direkonstruksi kembali karena banyak batu asli yang tidak di temukan. Bila
dilihat dari dalam, puncak atap terlihat seperti rongga dari susunan lingkaran
dari batu yang semakin ke atas semakin menyempit.
Ruang utama candi berbentuk bujur sangkar dan mempunyai pintu masuk di
sisi timur. Di dalam ruangan tersebut terdapat susunan batu bertingkat yang
dahulu merupakan tempat meletakkan patung Dewi Tara. Diperkirakan bahwa patung
tersebut terbuat dari perunggu setinggi sekitar enam meter. Menempel pada
dinding barat, di belakang susunan batu tersebut terdapat semacam altar
pemujaan.
Rabu, 12 September 2012
Candi Cetho
Candi Cetho merupakan sebuah
candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit
(abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de
Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian
mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi
dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia
Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti,
candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi
berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.
Sampai saat ini, komplek
candi digunakan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu sebagai
tempat pemujaan dan populer sebagai tempat pertapaan bagi kalangan
penganut agama asli Jawa/Kejawen.
Ketika ditemukan keadaan
candi ini merupakan reruntuhan batu pada empat belas dataran
bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada
saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras
saja. Strukturnya yang berteras-teras membuat munculnya dugaan akan
kebangkitan kembali kultur asli ("punden berundak") pada masa itu, yang
disintesis dengan agama Hindu. Dugaan ini diperkuat dengan bentuk tubuh
pada relief seperti wayang kulit, yang mirip dengan penggambaran di
Candi Sukuh.
Pemugaran yang dilakukan
oleh Humardani, asisten pribadi Suharto, pada akhir 1970-an mengubah
banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap
dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh pakar arkeologi,
mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa
studi yang mendalam. Bangunan baru hasil pemugaran adalah gapura megah
di muka, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung
Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus
pada bagian puncak punden.
Selanjutnya, Bupati
Karanganyar, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah
keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati,
sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi.
Pada keadaannya yang
sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum
gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang
arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi.
Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng
Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.
Pada aras ketiga
terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang
menggambarkan kura-kura raksasa, surya majapahit (diduga sebagai lambang
Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki)
sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe
ampallang. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan
penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran
hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan
yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka,
atau 1451 era modern.
Pada aras selanjutnya
dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat
relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang terdapat pula di Candi
Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar
upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa
yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa
tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara
keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan
selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan
Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap
sebetulnya keduanya adalah satu orang) yang diyakini sebagai abdi dan
penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.
Pada aras kedelapan
terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang
Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus
melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang
melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras
tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu
berbentuk kubus.
Candi Sukuh
Sejarah singkat penemuan
Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa
pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen
Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan
data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan
Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog
Belanda,
melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.
Lokasi
candi
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu
pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37,
38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini
terletak di Dukuh Berjo,
Desa Sukuh,
kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar,
Jawa Tengah.
Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer
dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.
Struktur
bangunan candi
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan
yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini
sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah
lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi
Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan
peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga
mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida
di Mesir.
Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog
termashyur Belanda, W.F. Stutterheim, pada
tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen. Pertama,
kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu
dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Kedua candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga
kurang rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhannya Majapahit,
sehingga tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.
Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu
memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak
disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di
atasnya.
Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan,
sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit.
Teras pertama candi
Gapura utama candi Sukuh.
Pada
teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala
dalam bahasa Jawa
yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa
Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata
ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka
atau tahun 1437
Masehi.
Teras kedua candi
Gapura
pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat
patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak
dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras
ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala
pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya
dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini
memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka
atau tahun 1456
Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun
dengan gapura di teras pertama!
Teras ketiga candi
Pada
teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa
relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para
pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak
yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui.
Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian.
Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini,
menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis.
Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput
daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka
ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Tepat di
atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang
kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan,
dupa dan hio yang dibakar, sehingga
terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.
Kemudian
pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan
mitologi utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Urutan
reliefnya adalah sebagai berikut.
Relief pertama
Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar
Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima.
Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua.
Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh
oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama
ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok
dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah
seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.
Relief
kedua
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga
yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah
mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai
Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka
dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati
Dewa sehingga harus terlahir sebagai raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat
pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau
membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat
wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu.
Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra
Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga
karena pelanggaran.
Relief
ketiga
Pada
bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar berhadapan dengan
pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas.
Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.
Relief
keempat
Adegan di sebuah taman indah di mana sang Sadewa
sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang
punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan
putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.
Relief
kelima
Lukisan ini merupakan adegan adu kekuatan antara Bima
dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Bima dengan kekuatannya yang luar
biasa sedang mengangkat kedua raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku
pañcanakanya.
Patung-patung
sang Garuda
Lalu pada
bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang
merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta
(air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa,
kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda
terdapat sebuah prasasti.
Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta
tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan
bumi dan penjelmaan DewaWisnu. Bentuk
kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai
tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan
Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari
tirta Amer ta
Beberapa bangunan dan patung lainnya
Selain candi utama dan patung-patung kura-kura,
garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan
berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para
ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah.
Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan
dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kira dan kanan yang berhadapan satu
sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang
wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan
melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas.
Kemudian ada sebuah bangunan kecil di depan candi
utama yang disebut candi pewara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang
dan terdapat patung kecil tanpa kepala. Patung ini oleh beberapa kalangan masih
dikeramatkan sebab seringkali diberi sesajian.
Sumber: Wikipedia